Jakarta/CentraljNews.com
Kepala Badan Intelijen Negara (Ka-BIN) Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan mesti bergerak memastikan supremasi sipil di rejim Joko Widodo ini. Sejumlah petinggi Polri, baik yang sudah pensiun ataupun yang masih aktif di Institusi Bhayangkara, hendaknya segera ditarik dari posisi posisi jabatan strategis sipil.
Founder Laskar Milenial Indonesia (LMI), Christie menyampaikan, di era Orde Baru, Dwi Fungsi ABRI sudah tidak ada lagi. Namun kok aneh, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, ada dwi fungsi yang mirip, yang dikenal sebagai Dwi Fungsi Polri. Sebab, saat ini sangat banyak petinggi Polri yang digiring dan masuk menguasai jabatan-jabatan strategis publik.
Seperti yang terjadi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) juga Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Kementerian BUMN).
“Beberapa di antaranya rangkap jabatan menjadi komisaris perusahaan pelat merah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kepolisian itu sendiri. Ini kok seperti mirip Dwi Fungsi Polri,” ungkap Christie, di Jakarta, Jumat (10/07/2020).
Christie melanjutkan, di zaman pemerintah Joko Widodo terlihat jelas pengabaian undang-undang dalam mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan.
Penempatan deretan perwira polisi aktif di berbagai Kementerian dan Lembaga yang tak berhubungan dengan bidang keamanan, bisa dikategorikan melanggar peraturan.
“Pada usianya yang ke-74 tahun, Kepolisian Negara Republik Indonesia tak semestinya mengulang praktik Dwi Fungsi ABRI era Orde Baru,” ujarnya.
Christie menegaskan, di dalam Undang-Undang Kepolisian diatur agar anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian bila sudah pensiun atau mengundurkan diri.
“Tapi kini, sejumlah perwira aktif kepolisian malah ditempatkan pada jabatan sipil,” ujarnya.
Ditambah pensiunan jenderal polisi, membuat daftar polisi yang menduduki berbagai posisi di berbagai lembaga lebih panjang lagi.
Setidaknya, lanjut Christie ada 30 jenderal aktif dan purnawirawan dalam daftar tersebut. Tak mengherankan, katanya, dengan banyaknya perwira kepolisian mengisi jabatan strategis, membuat munculnya dwi fungsi polri yang menjadi persoalan baru.
“Di era Pemerintahan Jokowi ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dulu dibentuk karena kepolisian dan kejaksaan dianggap gagal memberantas korupsi pun diisi perwira tinggi polisi aktif,” imbuh Christie yang juga sebagai Aktivis Mahasiswa dan Pemuda.
Dia mengingatkan Pemerintah seharusnya menuntaskan reformasi kepolisian. Bukan malah membuyarkan dengan menggiring polisi masuk ke jabatan-jabatan sipil.
“Masuknya mereka ke berbagai lembaga mengindikasikan pemerintah cenderung menggunakan polisi sebagai instrumen kekuasaan. Kebijakan itu sekaligus menunjukkan ketidak profesionalan Polri sebagai alat keamanan negara seperti amanat undang-undang,” tutur Christie.
Alasan penempatannya juga janggal. Dalam hal penunjukan mereka menjadi komisaris BUMN, misalnya, pemerintah beralasan banyak perusahaan negara yang menghadapi konflik lahan, tumpang tindih perijinan hingga isu sosial di masyarakat.
Alasan seperti ini justru menyiratkan pemerintah lebih mengedepankan pendekatan keamanan untuk mengamankan perseroan, yang bisa menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia suatu hari nanti.
Yang lebih berbahaya, lanjut Christie, langkah ini bisa memancing Tentara Nasional Indonesia (TNI) meminta diperlakukan serupa. Seperti Polri, TNI juga mengalami masalah serupa, yakni menumpuknya perwira yang tak memiliki jabatan.
“Jangan sampai pemerintah mengorbankan supremasi sipil hanya untuk menampung para perwira menganggur, yang semestinya bisa diselesaikan dengan sistem rekrutmen dan jenjang karier yang baik. Jika ini terus tergerus, demokrasi dan kebebasan sipil bakal meredup,” jelasnya.
Pemerintah harus bercermin pada pengalaman Filipina yang menjadi sangat militeristik, karena presidennya erat merangkul tentara dan polisi. Akibatnya, rakyat sering kali menjadi korban.
Dalam Perang Melawan Narkotika, misalnya, puluhan ribu orang tewas ditembak polisi dalam pembunuhan di luar hukum, pembunuhan tanpa melalui proses pengadilan. “Posisi polisi yang diistimewakan menjadikannya memiliki kewenangan di luar batas,” ujar Christie.
Bukan hanya itu, Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) adalah satu-satunya sekolah tinggi khusus untuk persandian di Indonesia. Untuk masuk ke STIN itu sendiri ada beberapa prasyarat yang sangat baik untuk menyeleksi mahasiswa yang mempunyai kemampuan yang layak untuk masuk kedalam STIN sendiri.
“Bahkan, STIN ini bebas biaya. Yang artinya semua pembiayaan selama masuk di STIN ini ditanggung oleh Negara. Tapi aneh bin ajaib lulusan STIN ini tidak pernah terdengar namanya menduduki bangku kepemimpinan BIN, tetapi yang selalu menjadi pemimpin dari anggota TNI atau Polri,” ungkap Christie.
Christie mempertanyakan, bukankah suatu instansi pendidikan dibangun untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuan dan passion orang tersebut? Dan mengapa seorang lulusan STIN ini tidak pernah ada dalam kepemimpinan BIN yang jelas-jelas mereka mendapatkan pendidikan khusus untuk mempelajari intelijen Negara?
Ketika seseorang ingin menjadi petinggi Polri seperti menjadi Kapolsek, Kapolres, Kapolda ataupun Kapolri, maka dia harus menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol).
Ketika seseorang ingin menjadi petinggi TNI seperti Danramil, Dandim, Pangdam, Pangkostrad maupun Kepala Kesatuan TNI, maka dia harus menempuh pendidikan di Akademi Militer (Akmil).
Dan ketika seseorang ingin menjadi Lurah atau Camat dan sebagainya maka dia harus menempuh pendidikan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
“Yang jadi pertanyaan sekarang adalah ketika seseorang menempuh pendidikan di STIN tetapi bukan dia yang menduduki bangku kepimpinan BIN, itu bagaimana?” tandasnya.
Jadi, kata Christie, terlihat jelas ada ketidak selarasan antara STIN dengan sekolah tinggi khusus lainnya, yang menyiapkan dan membekali mahasiswanya untuk menjadi pemimpin suatu instansi terkait dengan pendidikan yang ia tempuh.
“Kita bisa melihat ketika lembaga yang menjadi mata dan telinga negara kita sendiri dipimpin oleh suatu instansi yang ada di negara kita hasilnya seperti apa,” jelasnya.
Christie menegaskan, supremasi sipil harus terwujud di bumi demokrasi seperti Indonesia. “Saya sangat apresiasi jika ada supremasi sipil. Jangan semua lembaga dipimpin oleh figur polisi atau militer. Selama BIN dipimpin oleh tentara atau polisi, Papua tetap bergejolak. Kini saatnya sipil memimpin BIN,” cetus Christie.
Pada tahun 1959-1965, lanjut dia, yang menjadi Kepala BIN adalah warga sipil yang mempunyai kredibilitas tinggi yaitu Soebandrio. “Jadi, sekarang mengapa tidak dikembalikan lagi bahwasanya yang menjadi Kepala BIN adalah seorang warga sipil yang kredibilitas dan nasionalismenya sudah tidak diragukan lagi,” ucap Christie.
Di hampir semua negara demokrasi di dunia ini, kepala intelijen negara selalu dipegang sipil. Pedoman bertindak dan mengambil keputusan seorang tentara adalah hukum humaniter. Dan kepolisian selalu tunduk pada hukum pidana.
Sedangkan fungsi dasar kerja intelijen adalah tunduk pada politik negara di bawah kendali Presiden. “Menilik dari hal tersebut sebetulnya penunjukan seorang Kepala BIN dari militer atau kepolisian sudah melanggar genetika dasar sebuah badan intelijen Negara,” jelasnya.
Christie menambahkan, sosok sipil sangat layak untuk memimpin BIN. Sehingga ketika terjadi peristiwa seperti kasus kerusuhan di Papua, bila seorang sipil memimpin BIN maka pendekatan yang dilakukan terhadap Papua dan Papua Barat akan lebih humanis atau manusiawi.
“Dengan pendekatan humanis, niscaya rakyat Papua akan lebih dimanusiakan,” jelasnya. Christie menekankan, sosok yang tepat untuk memimpin instansi BIN adalah orang yang memiliki kapasitas dan loyalitas tinggi. Sosok yang berani, yang mampu membenahi masalah intelijen di Indonesia.
Seseorang yang berani pasang badan. Memiliki naluri intelijen yang diimplementasikan secara cermat, detail dan efektif. Serta mempunyai output yang signifikan bagi bangsa dan negara. Yang lebih luar biasa semua itu dilakukan dengan gerakan senyap dan mandiri.
Seorang Kepala BIN juga mudah memetakan masalah dan membuat analisis intelijen yang komprehensif. Sehingga ujung atau hasilnya pun efektif. Seseorang yang humanis serta dekat dengan masyarakat.
“Apalagi ancaman negara saat ini bersifat multidimensi dan berciri asimetris. Oleh sebab itu, pendekatan sipil lebih efektif bagi BIN yang harus dekat dengan rakyat,” katanya.
Christie menambahkan, hal senada juga diungkapkan Gubernur Jenderal Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) Markus Yenu. Menurut Markus Yenu, sudah saatnya mind frame atau pola pikir yang berbeda.
“Sehingga dalam operasi intelijen akan lebih humanis serta mengedepankan prosperity approach atau pendekatan kesejahteraan daripada security approach atau pendekatan keamanan yang selama ini terbukti gagal,” tutup Christie.RP