Jakarta/CentraljNews.com
Denny Siregar komplain data pribadinya dibuka ke publik oleh seorang yang diduga karyawan Telkomsel. Setelah dilapor ke polisi, ternyata yang membocorkan data adalah pekerja outsourcing.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar merasa heran dengan adanya pekerja outsourcing yang bisa mengakses data seperti itu. “Kok bisa ya pekerja outsourcing memiliki akses ke data pribadi orang di Telkomsel? Kan si pekerja bukan karyawan Telkomsel. Apa Telkomsel enggak khawatir?” tutur Timboel Siregar, Senin 13/07/2020.
Timboel Siregar mengungkapkan, dirinya saat ini sedang membantu pekerja outsourcing yang bekerja di bagian finance di perusahaan user. Pekerja disini juga memiliki password dan akses bebas ke data keuangan perusahaan user.
“Kok bisa pekerja outsourcing dikasih akses bebas terhadap laporan keuangan perusahaan user? Padahal pekerja tersebut adalah pekerja perusahaan lain. Apakah perusahaan user tersebut tidak khawatir tentang data keuangan mereka? Ternyata seluruh karyawan perusahaan user ini adalah pekerja outsourcing. Pekerja tetap hanya bosnya saja,” ungkapnya.
Dia menjelaskan sepengetahuannya, pekerjaan yang berhubungan dengan data dan keuangan adalah pekerjaan inti, yang tidak boleh di-outsourcing. “Tapi faktanya ini terjadi. Ini bukti bahwa pengawas ketenagakerjaan di republik ini sangat lemah,” ujar Timboel.
Lagi pula, Pemerintah tetap bersikeras untuk meloloskan sistem kerja PPKP outsourcing tanpa lagi ada ketentuan pekerjaan inti atau penunjang di RUU Cipta Kerja.
Ketentuan Pasal 66 di UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang mensyaratkan pekerjaan penunjang yang boleh di-outsourcing akan diganti dengan ketentuan pekerja outsourcing bisa diberlakukan untuk seluruh jenis pekerjaan.
“Pokoke semuanya bisa dioutsourcing, sama seperti perusahaan user yang saya ceritakan di atas,” imbuhnya. Dampak negatif atas pelaksaanaan outsourcing di seluruh jenis pekerjaan adalah, pertama, data-data perusahaan user akan bisa dengan mudah diakses oleh pekerja perusahaan lain. Potensi kebocoran data akan semakin besar.
Kedua, pekerja rentan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dampaknya, data-data tersebut akan mudah terpublikasi oleh pekerja outsourcing yang ter-PHK tersebut.
Tiga, potensi terjadinya diskriminasi akan besar mengingat pekerja yg bekerja di perusahaan user akan mengikuti Peraturan Perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan user.
Empat, pekerja akan sulit berserikat. Mengingat rentan di PHK dan perusahaan yang mensuplai pekerja bisa saja memiliki pekerja di bawah 10 orang.
“Kalau pun memiliki jumlah pekerja lebih dari 10 orang dan tersebar bekerja di beberapa perusahaan maka pekerja tidak saling kenal dan berdampak sulit berserikat. Dampak nyata adalah jumlah Serikat Pekerja (SP)/Serikat Buruh (SB) di tingkat perusahaan akan menurun,” jelasnya.
Lima, pekerja akan sulit bernegosiasi. Ini pasti, berserikat aja susah apalagi bernegosiasi. Negosiasi berbasis individu bukan kolektif.
Dampaknya adalah jumlah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) akan semakin sedikit. Apalagi pasal 119 dan 120 UU no. 13 tahun 2003 tetap berlaku dengan adanya UU Cipta Kerja.
Enam, eksploitasi terhadap pekerja outsourcing oleh perusahaan outsourcing akan semakin massif. Misalnya, upah dipotong untuk biaya seragam, pelatihan, dan lain sebagainya. Serta, upah lembur tidak dibayar, dan lain sebagainya.
Tujuh, akan lebih banyak pekerja yang tidak didaftarkan di 5 Program Jaminan Sosial (JPS). Walaupun tetap diwajibkan, faktanya saat ini saja banyak pekerja outsourcing tidak didaftarkan di 5 program jaminan sosial.
“Ada kasus, perusahaan user sudah memberikan dana iuran jamsos tetapi tidak dibayarkan oleh perusahaan outsourcing ke BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan fakta-fakta itu, seharusnya Pemerintah coba berpikir ulanglah untuk merevisi pasal 66 tentang outsourcing secara lebih liberal,” tandasnya.
Perusahaan user dan pekerja akan berpotensi menjadi korban. Pemerintah harus berhati-hati dan melakukan kajian dengan obyektif, jangan berpikir pendek untuk kepentingan segelintir orang.
“Dengan kondisi saat ini saja banyak terjadi pelanggaran Pasal 66 tersebut, karena pengawas ketenagakerjaan sangat lemah mengawal regulasi. Apalagi nanti bila diliberalkan,” jelasnya.
Selain itu Pemerintah harus membaca kembali putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah banyak memutus soal pasal 66 tersebut. “Hargailah MK dengan segala keputusannya,” ujar Timboel Sijegar.JRP