Jakarta/CentraljNews.com
Ketidakpatuhan pemerintah untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA), seperti dalam persoalan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) menimbulkan pertanyaan dasar bagi para pencari keadilan.
Jika ternyata Putusan MA tidak wajib dijalankan oleh Pemerintah, maka sebaiknya MA dibubarkan saja. Hal itu disampaikan salah Andri Tri Saputra Marbun, salah seorang Pemohon Pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan Putusan MA tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tidak dijalankan oleh pemerintah.
Kalau memang Putusan MA tidak wajib dijalankan, ya buat apa ada MA. Sebaiknya dibubarkan saja, jika memang tidak mengikat dan tidak berguna dalam tata hukum kita,” tutur Andri Marbun, di Jakarta, Selasa (28/07/2020).
Karena itulah, Andri Marbun dan kawan-kawannya mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009, khususnya Pasal 31 Ayat 4, mengenai Kewenangan MA.
“Faktanya, banyak putusan MA yang tidak harus dilaksanakan oleh Pemerintah. Seperti dalam putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu. Itu tidak dijalankan Pemerintah,” ujar Andri Marbun.
Sebelumnya, sebanyak 7 orang mahasiswa dan wiraswasta mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang (PU) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Keputusan Mahkamah Agung Nomor 7P/HUM/2020 bertanggal 31 Maret 2020 tentang batalnya kenaikan iuran bagi peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang tidak kunjung dilaksanakan oleh Pemerintahan Joko Widodo-Ma’aruf Amin.
Permohonan ini sekaligus untuk mempertanyakan ketidakpatuhan rezim Jokowi-Ma’aruf Amin terhadap Konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA), khususnya mengenai tarif BPJS Kesehatan.
Andri Marbun, salah seorang pemohon, menyampaikan, ketidakpatuhan Pemerintahan dalam menjalankan Keputusan MA itu, adalah bukti terjadinya pembangkangan konstitusional yang dilakukan rezim Jokowi-Ma’aruf Amin.
Menurut jebolan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) tahun 2020 ini, dirinya kini sebagai wiraswasta yang menjadi pemilik Kartu Indonesia Sehata (KIS) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, kian didera kesulitan hidup dengan terus dijalankannya kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan.
“Hak-hak saya dilanggar oleh pemerintah, khususnya BPJS Kesehatan, untuk memperoleh pelayanan kesehatan murah dan terjangkau. Sebab, saya dan banyak Warga Negara Indonesia lainnya, mengalami kesulitan membayarkan premi Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dikelola BPJS Kesehatan. Pemerintah tidak tunduk kepada Putusan MA yang telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu. Ini bukti, Pemerintah membangkang pada putusan Hukum di Indonesia,” tutur Andri Marbun.
Andri Marbun yang menjadi Pemohon IV dalam pengajuan Pengujian Undang-Undang ke MK ini menjelaskan, putusan MA tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu tidak dijalankan oleh pemerintah.
Nyatanya, Pemerintah dan BPJS Kesehatan tetap saja ngotot menerapkan Pasal 34 Peraturan Presiden (Perpres) No 75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terkait kenaikan iuran BPJS.
“Presiden Joko Widodo malah menerbitkan Perpres No 64 Tahun 2020 yang tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan,” jelasnya.
Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Prepres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan secara tidak langsung merupakan perbuatan melawan hukum (PMH).
“Kami juga mempertanyakan mengapa Putusan MA itu tidak dijalankan oleh Pemerintah?” cetusnya.
Andri Marbun mengaku merasakan secara langsung dampak beban hidup yang kian berat dengan tetap dinaikkannya iuran BPJS Kesehatan tersebut.
Maka, uji materil Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) Nomor 5 Tahun 2009, khususnya Pasal 31 Ayat 4, mengenai Kewenangan MA juga diajukannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya adalah peserta Kartu Indonesia Sehat yang dikelola BPJS Kesehatan, merasakan secara langsung dampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu. Jikalau tahun-tahun sebelumnya saja banyak warga negara yang belum mampu membayarkan premi, apalagi dengan tetap dinaikkannya iuran, maka makin memberatkan. Lagi pula, kami para Peserta KIS ini tidak mendapatkan kepastian hukum jika tetap dilakukannya pembangkangan hukum oleh pemerintah,” jelas Andri Marbun.
Sementara, Eliadi Hulu, yang juga seorang wiraswasta dan jebolan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) memohonkan pengujian Pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945.
“Sebab, saya merasa, hak konstitusional saya dikangkangi oleh Presiden. Kami ingin mendapat kepastian hukum,” ujar Eliadi Hulu.
Sebanyak 7 mahasiswa dan wiraswasta mengajukan pengujian ke MK. Mereka adalah, Dedi Rizali Arwin Gommo yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) sebagai Pemohon I, Paras Maulana Ilman Huda yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) sebagai Pemohon II, Eliadi Hulu yang merupakan seorang wiraswasta dan jebolan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) sebagai Pemohon III, Andri Marbun yang merupakan wiraswasta dan jebolan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) sebagai Pemohon IV, Mario Daniel Pardamean Hutabarat yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH Unibraw) sebagai Pemohon V, Kevin Jonatan Lazarus yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) sebagai Pemohon VI, Batara Siburian yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) sebagai Pemohon VII.
“Berkas sudah kami masukkan sejak awal Juni 2020. Sudah sidang 2 kali. Namun kami belum menerima jadwal sidang selanjutnya,” ujar Andri Marbun.
Perpres 64 Tahun 2020 itu mengatur skema iuran BPJS Kesehatan pasca MA membatalkan Pasal 34 Perpres No.75 Tahun 2019. Beleid itu menyebutkan besaran iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) sesuai manfaat (kelas) pelayanan ruang perawatan. Untuk Januari-Maret 2020 besar iuran mengikuti Perpres No 75 Tahun 2019 yaitu Rp160.000 (Kelas I); Rp110.000 (Kelas II); dan Rp42.000 (Kelas III).
Untuk April-Mei 2020 besaran iuran mengikuti amanat putusan MA yakni kembali ke tarif iuran sesuai Perpres No 82 Tahun 2018 yakni Rp 80.000 (Kelas I); Rp 51.000 (Kelas II); dan Rp 25.500 (Kelas III). Mulai Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk kelas I; Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III. Namun, khusus kelas III, pemerintah memberi bantuan iuran sebesar Rp 16.500 pada 2020 dan menurun menjadi Rp 7.000 per bulan pada 2021 mendatang.JRP