Papua/CentraljNews.com
Selama terjadinya wabah virus corona atau Covid-19, pendidikan bagi anak-anak Papua di Tanah Papua terlantar. Apalagi dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau lockdown di Tanah Papua, proses belajar mengajar stagnan dan terbengkalai.
Upaya pemerintah terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di Jakarta dirasakan sangat abai.
Mahasiswa dari Suku Bauzi Papua di Jakarta memprotes ketidakpedulian pemerintah terhadap pendidikan anak-anak Papua selama pandemi Covid-19.
Koordinator Keluarga Mahasiswa Bauzi Papua Jakarta, Samuel Pitawa mengungkapkan, janji Kemendikbud agar tetap melaksanakan pendidikan secara online, dan juga dari Kominfo akan menyediakan jaringan internet gratis serta peralatan yang memadai untuk menunjang proses pendidikan di Tanah Papua hanya omong kosong belaka.
“Di Kota Jayapura sebagai Ibukota Provinsi saja proses belajar mengajar selama pandemi Covid-19 tidak bisa berjalan secara online. Signal saja susah, apalagi jaringan internet yang memadai, itu tidak ada,” tutur Samuel Pitawa, di Jakarta, Rabu (08/07/2020).
Menurut dia, selama hampir 6 bulan melalui masa pandemi Covid-19, tidak ada perhatian serius dari Pemerintah Pusat untuk mengurusi pendidikan Anak-Anak Orang Asli Papua.
Lebih lanjut, Samuel Pitawa yang kini sedang mengecap pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta Pusat ini mengatakan, untuk tanah kelahirannya saja di Kabupaten Mamberamo Raya, Papua, sama sekali belum tersentuh pendidikan yang bisa diakses secara online itu.
Samuel Pitawa yang kini duduk di semester 4 Fakultas Hukum itu menuturkan untuk Distrik Mamberamo Tengah Timur saja, ada tidak kurang dari 8 Sekolah Dasar (SD), 8 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan tidak kurang dari 2 Sekolah Menengah Atas (SMA). Jika masing-masing sekolah saja memiliki murid 50 orang, maka tidak kurang dari 900 murid kini terlantar dan terhenti pendidikannya selama masa pandemi Covid-19.
“Itu baru di Distrik saya, di Kabupaten Mamberamo Raya. Belum lagi di wilayah-wilayah lainnya di Papua. Bagaimana mau sekolah, sedang akses untuk belajar pun tidak ada. Saya menelepon ke Kampung saya saja susahnya setengah mati. Signal susah sekali,” beber pria kelahiran Kampung Eri, Distrik Mamberamo Tengah Timur, Kabupaten Mamberamo Raya, Papua ini.
Samuel Pitawa mengatakan, anggaran pendidikan dari Kemendikbud dan anggaran Kominfo yang diperuntukkan bagi pendidikan secara online untuk Papua sangat besar. Namun, kok anak-anak Orang Asli Papua tidak bisa mengakses dan malah pendidikan terhenti di sana.
Dunia pendidikan di pedalaman Papua mati suri sejak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh akibat meluasnya pandemi Covid-19.
Hampir mencapai 54 persen dari 608.000 murid di Bumi Cenderawasih ini hanya bisa gigit jari saat siswa di perkotaan melakukan kegiatan pembelajaran online atau belajar secara daring. Sebab, sebagian wilayah pelosok itu tidak terjangkau oleh layanan internet karena bahkan listrik pun belum masuk.
Padahal, sebelumnya Kemendikbud menetapkan program belajar dari rumah untuk semua anak sekolah selama masa pandemi Covid-19. Program belajar ini ditayangkan melalui siaran di TVRI.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan tidak semua pelajar dapat menerapkan pola pembelajaran dari rumah. Salah satunya mereka yang tinggal di Provinsi Papua.
Dari hasil pendataan, Dinas Pendidikan Provinsi Papua mengungkap 54 persen dari 608.000 pelajar di provinsi itu tak dapat menerapkan belajar di rumah melalui media daring ataupun elektronik.
“Kondisi ini akibat minimnya prasarana jaringan internet, televisi, ataupun radio, serta banyak wilayah yang belum teraliri listrik,” ujar Retno belum lama ini.
Pendataan itu diperkuat oleh sebuah Surat Terbuka untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Yang ditulis oleh seorang Guru Honorer di Papua bernama Maruntung Sihombing.
Selama pandemi covid-19 Pembelajaran di Papua ‘mati suri ‘ tulis Maruntung. Tulisannya menunjukkan siswanya termasuk 54% anak dari data Dinas Pendidikan Papua yang tidak bisa mempraktikan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) karena berbagai keterbatasan.
Menurut Retno, temuan itu menunjukkan kesenjangan yang begitu lebar antara sekolah-sekolah di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa. Dia menjelaskan pandemi Covid-19 telah membuka lebar kesenjangan digital di kalangan siswa. Kebutuhan digitalisasi berhadapan dengan kenyataan lebarnya ketidak setaraan ekonomi dan sosial di kalangan keluarga-keluarga siswa .
“Ini masalah lama yang terpendam dan makin nyata disaat pandemi Covid 19. Kesenjangan sosial ekonomi berimplikasi pada perbedaan tajam dalam akses terhadap teknologi komunikasi dan informasi,” ujarnya.
Untuk itu, KPAI mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan sarana dan prasarana daring selama kebijakan belajar dari rumah yang menerapkan PJJ dengan daring. Hal ini untuk menghilangkan atau memperpendek kesenjangan terhadap akses digital.
Selain itu, dia menambahkan, pemerintah memberikan perhatian kepada para guru honorer agar dapat dirasakan kehadiran dalam pemenuhan hak atas pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.
“Negara setidaknya perlu mengeluarkan subsidi internet untuk rumah-rumah selama jam PJJ dan mengupayakan penyediaan komputer jinjing gratis untuk para siswa miskin. Pendidikan adalah hak dasar yang harus dipenuhi Negara dalam keadaan apapun, termasuk situasi darurat seperti saat ini,” tandasnya.JPR