Jakarta/CentraljNews.com
Proses demokratisasi dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak (Pilkada Serentak) yang akan digelar pada Desember 2020 lesu.
Pakar Komunikasi Politik, Kennorton Hutasoit mengatakan, partisipasi pemilih Pilkada 2020 yang jadwal pelaksanaannya 9 Desember 2020 kemungkinan akan turun drastis.
“Penyebabnya, bisa jadi warga masih enggan datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya karena khawatir penularan Covid-19 di lokasi-lokasi yang berpotensi kerumunan warga,” ujar Kennorton Hutasoit, di Jakarta, Senin (13/07/2020).
Menurutnya, situasi pandemi Covid-19 ini akan berdampak pada kegiatan pemberian suara pada Pilkada 2020. Karena berkaitan langsung dengan pembatasan kegiatan komunikasi tatap muka dalam jumlah banyak, baik komunikasi penyelenggara pemilu dengan pemberi suara maupun komunikasi calon kepala daerah dengan pemberi suara.
“Terbatasnya komunikasi ini bisa berdampak pada kurangnya pengetahuan gairah, dan partisipasi pemberi suara pada Pilkada 2020 nanti,” kata lulusan Magister Ilmu Komunikasi Politik dan Media Universitas Mercu Buana Jakarta.
Pilkada 2020 akan dilaksanakan di 270 daerah. Partisipasi pemilih pada Pilkada nanti bisa jadi dibawah partisipasi pemilih pada pilkada sebelumnya.
“Kita tahu partisipasi pemilih pada Pilkada serentak 2018 sekitar 73,24 persen, pada 2017 bekisar 70-75 persen, dan pada 2015 berkisar 65-70 persen,” lanjut Ken.
Sebenarnya, kata dia lagi, tanpa dalam situasi pandemi Covid-19, akhir-akhir ini ada kecenderungan penurunan partisipasi pemilih karena berbagai faktor. Antara lain, menurunnya kecenderungan warga negara untuk mengidentifikasi diri dengan partai politik dan secara bersamaan meningkatnya proporsi independen dalam politik, meningkatnya proporsi pemberi suara yang membelot dari kesetiaan terhadap partai, meningkatnya tingkat pemberian suara split ticket atau kader berbeda pilihan politik dengan parpol, meningkatnya kehadiran di antara independen dan partisan yang lemah dan meningkatnya ketergantungan pada media dalam masyarakat yang kompleks.
Terbatasnya komunikasi penyelenggara dan kontestan dengan pemberi suara baik melalui tatap muka maupun melalui media yakni media massa dan media sosial, dalam perspektif pemberian suara sebagai tindakan komunikasi, ini akan berdampak pada partisipasi pemberi suara pada Pilkada nanti.
“Kita tahu, pemberi suara rasional dan pemberi suara responsif, serta pemberi suara aktif membutuhkan informasi untuk memutuskan pilihannya. Ketika para pemberi suara tipe ini tidak mendapat informasi yang cukup pada Pilkada 2020 nanti, mereka bisa saja memutuskan tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya dan ini otomatis akan mengurangi tingkat partisipasi pemilih,” ungkapnya.
Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan atau Walikota/Wakil Walikota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 sudah siap untuk direalisasikan.
“Dalam ketentuan ini, ada aturan-aturan Protokol Kesehatan yang harus dipatuhi penyelenggara, calon, dan pemilih yang juga akan berpotensi mengurangi gairah dan partisipasi pemilih,” ujarnya.
Sedangkan, jumlah calon tunggal dalam pilkada cenderung meningkat. Dari sembilan calon tunggal pada Pilkada 2017 menjadi 11 calon tunggal pada Pilkada 2018.
Dalam bahasa Inggris calon tunggal disebut noncontested election atau pemilu tanpa persaingan. Pilkada dengan calon tunggal ini juga akan berdampak pada menurunnya tingkat partisipasi pemilih datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Atau setidaknya bisa dicurigai terjadi mobilisasi pemberi suara yang massif di pilkada dengan calon tunggal,” ujarnya.
Undang-Undang Pilkada pun sudah beberapa kali diubah mulai dari Perppu Nomor 1 Tahun 2014, kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015, UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, dan perubahan terakhir akibat pandemi terbit Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
Menurut Ken, ini menunjukkan perubahan UU Pilkada bukan sesuatu yang sulit dilakukan kalau mau mengadopsi ketentuan menutup ruang calon tunggal.
Undang-Undang Pilkada mestinya bisa mengadopsi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang sudah memuat ketentuan dalam Pasal 229 ayat 2 yang bertujuan mencegah pasangan calon tunggal dalam Pemilu Presiden.
Ketentuan yang dimaksud ialah KPU menolak pendaftaran pasangan calon dalam hal, satu, pendaftaran satu pasangan calon diajukan gabungan dari seluruh partai politik peserta pemilu.
Atau, dua, pendaftaran satu pasangan calon diajukan oleh gabungan partai politik peserta pemilu yang mengakibatkan gabungan partai politik peserta pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan pasangan calon.
“Menurut saya aturan ini penting diadopsi untuk tidak membuka ruang pada calon tunggal, apalagi selama ini pasangan calon perseorangan sebagai alternatif menghadapi calon yang memborong dukungan parpol, dalam pilkada masih sangat jarang,” pungkas Kennorton Hutasoit.RP