Jakarta/CentraljNews.com
Sejumlah lembaga sipil kemasyarakatan yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Laut Indonesia menggelar aksi penolakan terhadap hadirnya kapal keruk pasir Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis, Belanda, di Perairan Sangkarang, Makasar, Sulawesi Selatan. Aksi dilakukan di kantor Kedutaan Besar Belanda, di Jakarta, Selasa (28/07/2020).
Koalisi Selamatkan Laut Indonesia yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak Pemerintahan Belanda segera menghentikan perusahaannya yakni PT Boskalis yang menambang Pasir Laut di Perairan Makasar.
Salah seorang juru bicara Koalisi Selamatkan Laut Indonesia yakni Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Selatan, Al Amin menyampaikan, praktik penambangan pasir laut untuk kepentingan Proyek Reklamasi Makasar New Port (MNP) yang dilakukan oleh Kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis di Perairan Sangkarang, Makasar, Sulawesi Selatan terbukti merusak Kawasan Perairan Makasar.
Pembangunan Makasar New Port (MNP) yang digawangi oleh Pelindo memiliki luas 1.428 hektar yang akan direncanakan selesai pada tahun 2025.
“Dalam hal kapal asing, Pemerintahan Belanda bertanggung jawab karena merupakan bagian dari hak ekstra teritorialnya, maka tidak tepat jika Belanda menyatakan tidak dapat mengintervensi,” tutur Al Amin, dalam siaran pers yang diterima, Rabu (29/07/2020).
Dia melanjutkan, Negeri Belanda sebagai negara yang menjunjung hak asasi manusia (HAM) harusnya turut memberikan perhatian lebih, dengan meminta perusahaan yang berasal dari negaranya untuk tidak turut terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Perairan Makasar.
“Terlebih telah ada surat dari Komnas HAM yang meminta penghentian operasi dan penghormatan terhadap hak-hak nelayan,” jelasnya.
PT Royal Boskalis adalah kontraktor yang memenangkan tender penyediaan pasir untuk kepentingan reklamasi yang menambang di wilayah konsesi sejumlah perusahaan lokal di Sulsel. Di antara perusahaan itu adalah PT Benteng Lautan Indonesia.
Ala Amin mengatakan, berbagai fakta di lapangan menunjukkan, penambangan pasir tersebut telah berdampak buruk dan sudah berkali-kali ditolak oleh 5000 penduduk di Kepulauan Sangkarang, mewakili 1456 keluarga nelayan tradisional.
Sekjen KIARA, Susan Herawati mengatakan, kapal milik PT Boskalis memiliki kapasitas 33.423 Gross Ton (GT) terus menambang pasir laut dalam skala besar.
Terhitung mulai tanggal 13 Februari 2020 dan terus berlangsung hingga Senin, 21 Juli 2020 saat masyarakat pesisir laut menghentikan sementara aktivitas penambangan.
“Penolakan penduduk Kepulauan Sangkarrang hingga Makassar terjadi akibat pengrusakan wilayah tangkap nelayan dan proses konsultasi sepihak. Perempuan dari desa–desa terdampak turun ke jalan, juga ke laut dalam protes meluas menuntut Boskalis mundur,” jelasnya.
Sejak PT Royal Boskalis menambang pasir pada kurun Februari–Juli 2020, penurunan hasil tangkapan nelayan terjadi secara drastis. Seringkali nelayan harus pulang dengan tangan kosong. Situasi ini secara cepat pula menyebabkan peningkatan jumlah utang keluarga nelayan.
“Pandemi Covid-19 terpaksa dihadapi keluarga pesisir laut dengan beban berlapis, khususnya serangan brutal terhadap ruang hidup dan kemampuan bertahan hidup secara mandiri,” ujar Susan.
PT Benteng Lautan Indonesia sebagai rekanan dari PT Royal Boskalis telah menggunakan cara-cara kotor agar dapat melanjutkan proyek tambang pasir laut.
“PT Benteng Lautan Indonesia membayar orang untuk membujuk masyarakat agar menerima uang ganti rugi dan menerima tambang, namun ditolak oleh nelayan,” lanjutnya.
Selain itu, pihak kepolisian sering mengintimidasi nelayan dan menyatakan yang tidak menerima tambang akan ditangkap dan dipenjara.
Kegiatan mereka, termasuk perluasan jangkauan hukum mereka, pemaksaan kolaborasi terhadap orang lain, langsung dan tidak langsung, telah melanggar hukum internasional, sebagaimana Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Hukum Lingkungan Internasional, dimana kehidupan seseorang secara akut terancam.
Ironisnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak melakukan upaya apapun untuk melindungi nelayan.
Padahal, UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, memberikan mandat untuk melindungi nelayan, salah satunya menjamin keamanan dan keselamatan sekaligus mendapatkan pendampingan hukum.
“Kami mengamati proses pembiaran pelanggaran HAM yang dialami oleh penduduk di Perairan Sangkarang,” ujarnya.
Koalisi Selamatkan Laut Indonesia menuntut tindakan serius dalam merespon tuntutan warga sebagai pihak yang mengalami kerugian dan kerusakan. Berdasarkan ayat 6,.1, 10.1, Konvensi Internasional tentang Hak–Hak Sipil dan Politik (ICCPR), kemudian ayat 1.2 Konvensi Internasional tentang Hak–Hak Ekonomi, Sosial & Budaya (ICESCR)
“Terutama penggunaan upaya–upaya pertahanan diri dalam hubungan dengan hak hidup dan hukum hak asasi manusia dan hukum lingkungan internasional terkait pelanggaran kewajiban ekstra teritorial,” ujarnya.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menambahkan, pada ayat 6.1 dari ICCPR, menyebutkan, “bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup yang melekat. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak ada satupun yang boleh semena-mena mencabut hidupnya.”
Kemudian pada ayat 10.1 dari ICCPR, menyebutkan, “semua manusia yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan dengan manusiawi dan dihormati atas martabat yang melekat pada setiap pribadi seseorang.”
Dalam ICESCR, “semua bangsa, untuk tujuan mereka sendiri, dapat mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional, berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum internasional. Tidak boleh ada kasus yang memperbolehkan masyarakat dirampas dari sarana subsistensinya sendiri.”
“Konstitusi Republik Indonesia memandatkan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pada titik inilah Pemerintah dan PT Boskalis bersama-sama telah melakukan pelanggaran terhadap amanah UUD 1945,” ujarnya.
Karena itu, Koalisi Selamatkan Laut Indonesia meminta kepada Pemerintah Belanda, untuk segera memerintahkan PT Royal Boskaslis agar secepatnya menghentikan penambangan pasir di Kepulauan Sangkarang, Makassar, Sulawesi Selatan.
“Kepada Pemerintah Belanda, untuk lebih mengedepankan Hak Asasi Manusia dalam proyek-proyek di Indonesia, khususnya yang terkait dengan entitas bisnis, maupun negara, yang berasal dari Belanda,” pungkasnya.JRP