Jakarta/CentraljNews.Com
Setiap Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau Hari Buruh Sedunia. Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP PARKINDO) menyampaikan seruan di Hari Buruh Sedunia yang jatuh pada hari Senin, 01 Mei 2023, tahun ini.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (Sekjen PARKINDO) Besli Pangaribuan, mengutip ayat Alkitab yang tertulis pada Mazmur 97:2b, “…Keadilan dan hukum adalah tumpuan Takhta-NYA”.
“Buruh adalah poros dari roda perekonomian. Alasannya karena buruh berperan sebagai agen pertama dalam rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi. Tanpa buruh, eksistensi ekonomi niscaya akan runtuh, karena pasokan barang dan jasa terhenti, sehingga mengusik alur distribusi dan mengganggu aktivitas konsumsi. Jadi, buruh merupakan metronom untuk menentukan irama dari derap kiprah pusaran ekonomi,” tutur Sekjen PARKINDO Besli Pangaribuan, dalam Seruan PARKINDO Untuk Hari Buruh Internasional, Senin (01/05/2023).
Akan tetapi, walau perannya krusial dalam memutar roda ekonomi, nasib buruh justru ironis. Buruh mungkin tidak miskin jika mengikuti standar IMF dan Bank Dunia, tetapi mayoritas dari mereka hidup serba kekurangan.
“Penguasa dan pengusaha kerap mengabaikan hak-hak mereka. Namun walau begitu, produktivitas buruh selalu dituntut untuk tetap tinggi. Akibatnya, eksploitasi terhadap buruh telah dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam dunia kerja,” lanjutnya.
Dalam konteks inilah, Partisipasi Kristen Indonesia (PARKINDO) perlu menyatakan seruan keberpihakan kepada buruh.
Sebagai agama yang menjunjung tinggi kasih, solidaritas, dan keadilan, kekristenan harus berdiri bersama buruh untuk memperjuangkan haknya.
“Hari Buruh Internasional menjadi momentum bagi kekristenan dalam merefleksikan dan memperkuat komitmennya untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera,” lanjut mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Medan itu.
Keadilan merupakan salah satu ajaran pokok dalam pemikiran Kristen. Alkitab mengajarkan bahwa atribut utama dari Tuhan adalah hukum dan keadilan (Mzm. 97:1–2).
“Melampaui segala ritual keagamaan, penegakkan keadilan merupakan prioritas utama dalam kekristenan,” ujarnya.
Suatu kali Nabi Amos pernah menghardik umat Israel karena mengabaikan keadilan walaupun mereka menjalankan ibadah dengan sempurna (Am. 5:21–24).
Bahkan, salah satu alasan Tuhan menunggang balikkan Sodom dan Gomora dengan hujan belerang karena mereka abai terhadap keadilan (Yes. 1:10; 16–17). “Artinya, keadilan adalah sebuah keutamaan dalam Alkitab yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Karena berorientasi pada keadilan, Tuhan merupakan Pribadi yang bersolidaritas kepada kelompok masyarakat termarginalkan (Mzm. 10:17–18).
Alkitab menggambarkan Tuhan akan selalu berpihak kepada mereka yang dirampas haknya (Mzm. 82:1–8).
Tuhan, sebagai hakim, akan merestorasi hak-hak mereka (Mzm. 76:9) dengan mengeliminasi segala bentuk ketimpangan (Mzm. 113:4–9).
Tuhan selalu mendengar erangan orang-orang tertindas sekaligus mengusahakan pembebasannya (Kel. 3:7–8).
Oleh sebab itu, kekristenan akan selalu merangkai keadilan dan solidaritas kepada kelompok masyarakat marginal sebagai satu kesatuan.
“Konsep keadilan dan solidaritas juga menggema dalam Alkitab ketika bersinggungan dengan buruh atau pekerja,” imbuh Besli Pangaribuan yang juga mantan aktivis Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) itu.
Jika mengacu pada perumpamaan Yesus tentang orang-orang upahan di kebun anggur, besaran upah memang harus muncul berdasarkan kesepakatan bilateral (Mat. 20:1–13).
Kesepakatan ini kemudian berperan sebagai standar keadilan. Paulus menyerukan agar setiap tuan berlaku jujur dan adil pada hambanya (Kol. 4:1) sekaligus menegaskan bahwa setiap pekerja layak untuk mendapatkan upahnya (1Tim. 5:18). Namun, upah adalah hak dari pekerja, bukan hadiah (Rm. 4:4).
Barang siapa menahan upah para pekerja, tindakan tersebut akan dihitung sebagai dosa di hadapan Tuhan (Ul. 24:14–15).
“Ayat-ayat di atas menunjukkan keberpihakan Tuhan kepada buruh untuk memastikan keadilan dan pemenuhan hak-haknya,” terang Besli Pangaribuan.
“Namun, apakah persoalan utama buruh terletak pada persoalan pembayaran upah dan kesepakatan? Tidak sesederhana itu. Kelas buruh muncul karena sekelompok masyarakat tidak memiliki alat produksi, seperti, tanah, sumber daya alam, atau perkakas untuk membuat barang dan jasa,” lanjutnya lagi.
Karena ketiadaan alat produksi, mereka kesulitan memproduksi kebutuhan-kebutuhan pokok agar bertahan hidup. Untuk mengatasi persoalan ini, mereka terpaksa menjual tenaganya kepada si empunya alat produksi untuk bekerja menghasilkan barang dana atau jasa. Hasil penjualan tenaganya dikenal sebagai upah.
Karena ketiadaan alat produksi, buruh menggantungkan hidupnya pada besaran upah yang diterimanya. Dalam situasi ini, relasi antara buruh dan pemilik alat produksi adalah asimetris. Buruh tidak memiliki posisi tawar di hadapan pemilik alat produksi.
Buruh berada dalam situasi “terpaksa” karena ia tidak memiliki alternatif selain menjual tenaganya agar bertahan hidup. Artinya, penyebab terjadinya ketidak-adilan kepada buruh adalah persoalan struktural yang terkait langsung dengan akses pada alat produksi.
Kepemilikan alat produksi merupakan salah satu topik perhatian Alkitab. Ketika bangsa Israel memasuki tanah perjanjian, tugas pertama Yosua adalah membagi-bagikan tanah kepada setiap suku (Yos. 13–21). Pasalnya, bangsa Israel meyakini tanah adalah sumber kehidupan (Kej. 1:11–12; 2:7).
Bahkan, ketika manusia melakukan dosa, tanah juga terkutuk karenanya (Kej. 3:17; 4:12). Karena begitu pentingnya peran tanah, Alkitab bahkan mencatat Tuhan melarang bangsa Israel untuk menjual tanah (Im. 25:23).
Peran tanah sangat sentral bagi bangsa Israel karena dari situlah bermunculan berbagai hal yang menopang kehidupan manusia. Oleh karena itulah, partisipasi umat Kristen dalam aksi-aksi perjuangan buruh mesti terkonsentrasi pada restorasi struktural, secara khusus pada akses kepemilikan alat produksi atau tanah.
“Ketika buruh sudah memiliki alat produksinya secara mandiri, ia seketika berhenti menjadi buruh. Kepemilikannya terhadap alat produksi akan memastikan ia tidak lagi menjual tenaganya dan hidup bergantung pada upah,” terang Besli.
Dalam hal ini, aksi keberpihakan kekristenan terhadap buruh tidak sebatas seruan moral, tetapi terlibat aktif dalam praksis restorasi struktural. Tentu saja, cita-cita merestorasi struktur bukanlah perkara mudah. Salah satu faktor dari penghambat justru terletak pada organisme buruh itu sendiri. Kesadaran buruh terhadap akar persoalan struktural dan akses kepemilikan alat produksi masih belum merata.
Artinya, usaha untuk mengedukasi buruh masih menjadi persoalan tersendiri dalam usaha memperjuangkan keadilan. Selain faktor disparitas kesadaran, kesatuan buruh dalam memperjuangkan hak-haknya masih dicerai-beraikan oleh ragam ideologi dan kepentingan.
Akibatnya, buruh berjuang secara fragmentaris, retak-retak, dan lemah. Untuk mengekspresikan keadilan dan sikap solidaritasnya, kekristenan mampu berperan untuk menyediakan solusi dari dua permasalahan di atas.
Kekristenan bisa mengaktifkan fungsi edukatifnya untuk belajar bersama buruh demi meningkatkan kesadaran akan hak-haknya dan memahami akar persoalan yang sedang dihadapinya.
Ketika kesadaran buruh telah terbentuk, usaha untuk mengorganisasi buruh sebagai sebuah kekuatan restoratif akan lebih mudah dilakukan.
“Tanpa kesatuan, perjuangan buruh dalam memperjuangkan keadilan hanya akan berubah seperti “petinju yang sembarangan saja memukul” (1 Kor. 9:26). Selamat Hari Buruh,” tutupnya.RP